Kamis, 04 Juni 2009

ANAK TIDAK HARUS MENANG (bag I)

Menghadapi masa depan yang amat kompetitif dibutuhkan pribadi yang tangguh. Banyak cara membiasakan anak hidup berkompetisi sehat. Lewat bakat gambar mereka, misalnya:

Berawal dari sama-sama tercekal kebebasannya, pasangan Martin-Indah akhirnya berikrar untuk memberi kebebasan kepada anak-anaknya. Dulu, Martin yang ingin menjadi novelis dilarang oleh orang tuanya. Demikian pula Indah yang ingin menjadi pelukis. Kedua bidang seni tersebut dianggap bukan profesi yang cerah. “Karena itu kami dulu juga berjanji,ayo,kita orang-orang gagal, bergabung, membentuk rumah tangga, bisa nggak? Ternyata sampai sekarang masih berjalan,” ujar Martin tertawa.

Atas dasar ingin memberi kebebasan itulah, pasangan ini kemudian berusaha melihat bakat anak-anaknya. Ternyata, sejak usia 2 tahun, si sulung, Kiki, sudah menghabiskan spidol untuk mencorat-coret dinding. Demikian juga dengan Krisna. “Mungkin bakat melukis mereka turunan dari ibunya,” sambung ayah tiga anak ini.

Bakat melukis yang sudah terlihat itu kemudian dikembangkan lebih lanjut. Kiki mulai ikut lomba lukis yang diselenggarakan oleh sebuah perumahan pada usia 4 tahun, dan masuk sepuluh besar. Setelah itu Kiki mulai mengikuti beberapa lomba dan sering menjadi juara. Mulailah ibunya memberikan pengarahan tentang bagaimana dasar melukis, karena dia yang lebih tahu tentang hal itu.

Meskipun mengaku tidak kompeten dalam mengajarkan melukis, namun dalam hal lomba lukis yang diikuti anak-anak, Martin juga mampunyai tugas yang tidak ringan. Seperti lomba-lomba lukis umumnya yang selalu mempunyai tema,maka pada saat ada lomba yang temanya rumit, tugas sang ayahlah untuk menerjemahkan pada kedua anaknya. Tema rumit tersebut misalnya saja:

Pembangunan di Mata Anak. Tentu saja anak-anak mengalami kesukaran untuk mewujudkan tema itu ke atas kertas gambar. “Nah, disinilah pentingnya peran orang tua. Biasanya saya akan menerangkan dan memperlihatkan gambar-gambar seperti prinsip sosrobahu dari jembatan layang dan sebagainya.” Tidak itu saja, Martin juga sering mengajak kedua anaknya mengupas lukisan-lukisan pelukis terkenal, sehingga memperkaya wawasan si anak.

Tema lomba lukis untuk anak seringkali memang jadi masalah tersendiri. Ada saja panitia lomba yang membuat tema tidak masuk akal bagi anak. Artinya, terlalu abstrak untuk dibayangkan oleh pola pikir anak-anak yang relatif masih sederhana. Misalnya saja tentang Kota Jakarta Tahun 2006. Kalau sudah begini, peran orang tua memang betul-betul penting.

Bagaimana cara pasangan Martin dan Indah mempersiapkan anak-anaknya menjelang lomba lukis yang bertema “sulit” seperti itu? Biasanya Martin akan menjelaskan apa maksud tema tersebut, kalau perlu ada foto-foto yang menunjang. Sedangkan sang istri, yang pernah jadi pelukis, membuat contoh sketsanya.

Misalnya saja, perspektif yang benar dari sebuah jalan layang itu bagaimana bentuknya. Kemudian mereka mencoba menuangkannya dalam bentuk lukisan. “Tentu saja, kami hanya memberi gambaran kerangka besarnya saja. Untuk detilnya, tetap mereka yang membuat agar nafas kekanakannya yang khas tidak hilang.” Meskipun sudah berlatih di rumah, pada saat perlombaan, Kiki dan Krisna tetap saja membuat gambar yang berbeda dengan latihannya. “Kami juga membiarkan saja, menang atau kalah. Karena,inilah yang disebut kebebasan.”

Lucunya,kedua anak Martin seperti punya felling terhadap hadiah yang akan diterima. Misalnya saja, ketika Kiki akan masuk SMP, karena ia salah seorang anak yang menjadi korban ‘kekacauan’ NEM di Bekasi, akhirnya harus membayar uang masuk kurang lebih Rp. 1.000.000,-. Kebetulan pada saat itu ada lomba gambar yang berhadiah tabungan, dan mereka ikut. Pulang-pulang, Kiki dan Krisna membawa tabungan masing-masing Rp. 700.000,-. Maka, bereslah masalh biaya masuk sekolah Kiki.

Tidak Cuma itu. Suatu ketika Krina ingin sepatu yang sedang in, yang kebetulan menjadi salah satu hadiah lomba lukis meskipun bukan hadiah pertama. Tepat seperti keinginannya, Krisna mendapat hadiah sepatu tersebut, dan langsung di pakai. “Jadi, ternyata anak-anak itu nggak selalu kepingin jadi juara pertama, tetapi justru hadiah tertentunya. Saya juga bersyukur kepada Tuhan, meskipun hidup kami sederhana, tetapi anak-anak punya berbagai fasilitas yang boleh dibilang mewah atas usahanya sendiri.”

(bersambung…)